GELORA.CO - Kebijakan lobster yang digulirkan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono melalui Permen KP Nomor 7/2024 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.) dan Rajungan (Portunus spp.) terus menuai kontroversi.
Sejak diterbitkan pada Maret 2024, kebijakan ini sudah banyak mendapat penolakan dari akademisi dan stakeholder terkait.
Kendati Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menegaskan bahwa semangat kebijakan ini ada pada budidaya lobster, bukan ekspor benih bening lobster (BBL) seperti kebijakan terdahulu, namun kenyataannya, setelah 6 bulan berjalan, tetap ekspor yang mendominasi.
Dalam praktiknya, KKP menggandeng 5 perusahaan joint venture dengan Vietnam dalam budidaya hingga pengiriman benur. KKP sendiri sudah menetapkan Jembrana, Bali sebagai sentra budidaya lobster hasil kerja sama dengan Vietnam. Namun hingga kini aktivitas budidaya tersebut masih belum terdengar.
Ketua Umum Serikat Nelayan Bima, Musaitin Gery, menilai kebijakan tersebut, jelas-jelas monopoli. Karena perusahaan yang kerja sama dengan BLU KKP diduga melakukan black market yang dibungkus regulasi. Namun pendapatan hasil pengiriman BBL ke negara tujuan (Vietnam) tak masuk ke negara.
“Ini hanya ekspor berkedok budidaya dan investasi saja, nyatanya jutaan BBL dari perairan kita dibawa ke Vietnam sementara PNBP yang masuk (data PMO-724) hanya Rp3,6 miliar,” kata Musaitin dalam keterangannnya kepada wartawan, Rabu (25/9).
Terpisah, Wakil Ketua Masyarakat Akuakultur Indonesia, Budhy Fantigo, mengatakan Permen KP Nomor 7/2024 didesain oleh Trenggono untuk taipan Vietnam memonopoli ekspor benur lobster.
Menurut dia, modal dari Vietnam digunakan untuk pembentukan BLU khusus lobster, yang sebenarnya tidak pernah ada BLU untuk satu komoditas tertentu. Dari BLU itulah, perusahaan Vietnam membeli lobster hasil tangkap yang semulanya dikumpul di koperasi nelayan.
“Dari pengiriman 100 ribu ekor saja, mereka berpeluang mendapat cuan Rp1,5 miliar rupiah. Sekitar Rp15 ribu per ekor,” kata Budhy.
Namun, capaian jutaan ekspor ini tidak berbanding lurus dengan capaian Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang sangat minim dari jumlah kuota ekspor benih yang sudah keluar Indonesia. Makanya, lebih baik dibatalkan seluruh regulasi pengelolaan benih lobster.
Sekretaris Jenderal Koperasi Nelayan Tangkap Benih Bening Lobster (KNT BBL), Suparman menyebut KPK perlu segera memeriksa Menteri Kelautan dan Perikanan dan 5 perusahaan ekspor benih lobster, terutama PT Gajaya Akuakultur Internasional yang mendapat kuota terbanyak ekspor BBL saat ini dari bulan Agustus-September 2024.
PT Gajaya Akuakultur Internasional dimiliki seorang pengusaha besar bernama Sujaka Lays yang akrab disapa AKA. Ia juga memiliki properti perusahaan batu bara yang baru saja IPO di bursa saham Indonesia.
Sujaka Lays juga sebagai Wakil Ketua Asosiasi Lobster Indonesia di masa Menteri KP Edhy Prabowo yang ditangkap KPK karena kasus korupsi ekspor benih lobster.
PT. Gajaya berubah nama dari sebelumnya PT. Tania yang merupakan pemain utama ekspor BBL pada masa Menteri KP Edhy Prabowo.
Suparman mengendus, perusahaan ini melakukan monopoli sehingga KPK dan KPPU perlu menyelidiki aktivitas mereka.
“KPK harus segera periksa pemilik perusahaan tersebut yakni Sujaka Lays yang merupakan CEO dan investasi terbesar ekspor BBL,” pungkas Suparman.
Sumber: rmol